Jumat, 01 Januari 2016

KESEPAKATAN CIGANJUR PEMILIHAN UMUM 1999

KESEPAKATAN CIGANJUR PEMILIHAN UMUM 1999
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Kelompok 6 (enam)
1.      Iis Nurhasanah
2.      Lia Handayani
3.      Sulaiman
4.      Wulandari
5.      Tria Agustina
6.      Islaini Sanudra Pajriani
Kelas : XII.IPA.3
Guru Pembimbing : Meliana, S.Pd
Description: C:\Users\user\Documents\Logo+Dpag+warne.jpg
KEMENTERIAN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI SAKATIGA
TAHUN AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
            Puji syukur senantiasa Kami panjatkan kehadirat  Allah swt, karena dengan rahmat dan taufiq-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “Kesepakatan Ciganjur Pemilihan Umum 1999”.
            Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampailan ucapan terima kasih kepada ibu/ bapak selaku guru mata pelajaran sejarah Indonesia, yang senantiasa membimbing dan menyumbangkan ilmunya kepada kami. Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman dan juga semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
            Penyusun juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan, dan masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu  Saya sangat mengharapkan kritik dan saran atas penulisan makalah ini selanjutnya.
            Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

Sakatiga,    Oktober 2015

    
        Penyusun


DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
1.      Latar Belakang
2.      Rumusan Masalah
3.      Tujuan
Bab II : Pembahasan
1.      Kesepakatan Ciganjur
2.      Tragedi di Semanggi
3.      Pemilihan Umum Tahun 1999
4.      Sidang Umum MPR 1999
Bab III : Penutup
1.      Kesimpulan
2.      Saran
Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
            Sidang Istimewa MPR 1998 menghasilkan 12 ketetapan, sementara itu dengan diprakarsai oleh para mahasiswa yang bergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, dan Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi.
            Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
            Pemilihan Umum Tahun 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dengan jumlah 48 partai. Pemilihan Umum Tahun 1999 merupakan pemilu pertama pasca mundurnya Presiden Suharto dari tampuk kekuasaan. Habibie, selaku pengganti Suharto, melaksanakan pemilu tiga tahun lebih cepat dari waktu yang seharusnya dijadwalkan, yaitu tahun 2002
            Setelah lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahannya, maka MPR mengadakan Sidang Umum MPR thn 1999 dimana B.J.Habiebie menjadi Presiden RI ke-3. namun kemudian pada tahun 1999 diadakan pemilu thn 1999.

2.      Rumusan Masalah
1.      Apa itu kesepakatan Ciganjur, Pemilihan Umum 1999 ?
2.      Siapa saja yang terlibat ?
3.      Mengapa bisa terjadi Kesepakatan Ciganjur Pemilihan Umum 1999?

3.      Tujuan
1.      Mengetahui apa itu Ciganjur Pemilihan Umum.
2.      Mengetahui tokoh yang terlibat dalam Kesepakatan Ciganjur Pemilihan Umum.
3.      Mengetahui penyebab terjadinya Kesepakatan Ciganjur Pemilihan Umum 1999.




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kesepakatan Ciganjur
            Setelah Sidang Istimewa MPR 1998 menghasilkan 12 ketetapan, sementara itu dengan diprakarsai oleh para mahasiswa yang bergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, dan Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi. 4 tokoh tersebut adalah : K.H. Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Sukarnoputri.

Description: 8 kesepakatan tokoh reformasi di Ciganjur

            Pada tanggal 10 November 1998 mengadakan dialog nasional di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid, Ciganjur, Jakarta Selatan. Dalam dialog nasional tersebut menghasilkan 8 kesepakatan sebagai berikut :
1.      Mengupayakan terciptanya kesatuan dan persatuan nasional.
2.      Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
3.      Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
4.      Melaksanakan reformasi sesuai dengan dengan kepentingan generasi bangsa.
5.      Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa pemerintahan transisi.
6.      Menghapus Dwifungsi ABRI secara bertahap.
7.      Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan kasus KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan Kroninya.
8.      Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.

2.      Tragedi di Semanggi
            Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
            Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
            Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
            Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
            Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!

3.      Pemilihan Umum Tahun 1999
            Pemilihan umum tahun 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dengan jumlah peserta  48 partai. Pemilihan Umum Tahun 1999 merupakan pemilu pertama pasca mundurnya Presiden Suharto dari tampuk kekuasaan. Habibie, selaku pengganti Suharto, melaksanakan pemilu tiga tahun lebih cepat dari waktu yang seharusnya dijadwalkan, yaitu tahun 2002. Percepatan pemilu ini adalah hasil tekanan rakyat pada pemerintahan Habibie karena ia dipandang tidak memiliki legitimasi untuk memegang tampuk kekuasaan. Presiden Habibie dianggap publik sebagai bagian dari Orde Baru yang mestinya turut dilengserkan. Karenanya, hakekat pemilu 1999 pada dasarnya untuk membentuk legitimasi baru atas siapapun yang akan menjadi Presiden pasca mundurnya Suharto.
            Diantara hal-hal paling menyolok pada fase setelah keruntuhan Orde Baru adalah kecilnya penolakan terhadap dibuangnya format politik dua partai satu Golkar dan dipekenalkannya sistem multi partai. Tiba-tiba demokrasi multipartai seolah dilihat sebagai satu-satunya pilihan yang berkelayakan. Hal ini mirip dengan November 1945, masa terakhir ketika partai politik tumbuh subur di Indonesia. Kemiripan itu adalah sehubungan dengan hal-hal sebagai berikut: euphoria setelah berhasil keluar dari suatu kurun panjang re;presi politik, banyaknya kepentingan politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya otoritas politik yang punya kemauan mencegah hal itu. Bahkan pandangan lain menempatkan kelahiran lebih seratus partai politik dalam hitungan yang sangat singkat sebagai fenomena yang mengalahkan periode awal berkembangnya partai politik pasca Maklumat Nomor X Wakil Presiden.
            Pemilu 1999 sering disebut sebagai pemilu transisi untuk masuk format politik yang lebih demokratis. Pemilu menjadi semacam simpang jalan: apakah proses politik itu terus setia pada jalur demokratisasi, berbelok jalan, atau bahkan berbalik arah sama sekali. Pengalaman transisi berbagai negara menunjukkan kemana pendulum transisi bergerak dari hasil pemilu.

Pemilu tahun 1999 diselenggarakkan dalam waktu yang sangat singkat, yaitu kurang dari 5 bulan. KPU selaku penyelenggara pemilu dalam waktu yang singkat telah berhasil merumuskan lebih dari 136 peraturan dan keputusan tentang tata cara pemilu. Tidak hanya itu, KPU juga berhasil merencanakan dan menyelenggarakan pemilu secara relatif lebih lancar seperti yang diperintahkan Undang-undang.
            Pemilu 1999 dapat disebut sebagai pemilu anti tesis pemilu-pemilu Orde Baru. Banyak aspek bertolak belakang dengan masa orde baru. Disebut demikian karena berbagai hal. Pertama, liberalisasi politik yang melahirkan 48 peserta pemilu menjadikan pemilu hampir diikuti oleh seluruh spektrum idiologi yang pernah ada di pentas politik berbasis kelas, seperti PRD, dan partai dengan jalur aliran seperti PBB, PDKB, dan PKD yang diharamkan selama Orde Baru berkuasa, muncul tanpa ada yang mempersoalkan apalagi mengkontrol. Pluralisme politik Indonesia benar-benar mengjawantah dalam partai yang berkompetensi dalam pemilu 1999.
            Selanjutnya pemilu berusaha dibangun di atas spirit baru, yaitu Luber plus Jurdil. Diketahui bahwa pemilu pada Orde Baru dibangun asas LUBER (langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) dengan mengabaikan aspek JURDIL (Jujur dan Adil) bagi penyelenggara maupun peserta pemilu. Juga netralitas birokrasi. Birokrasi yang selama Orde Baru dimobilisasi untuk mendukung dan menjadi bagian integral dari Golkar berusaha dinetralisasikan untuk tidak memihak salah satu partai politik. PNS tidak diperkenankan menjadi anggota dan pengurus partai politik. kalau ada PNS yang menjadi anggota atau pengurus partai politik harus mendapatkan ijin atasannya dan kemudian melepaskan jabatan negerinya.

4.      Sidang Umum MPR 1999
            Setelah lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahannya, maka MPR mengadakan Sidang Umum MPR thn 1999 dimana B.J.Habiebie menjadi Presiden RI ke-3. namun kemudian pada tahun 1999 diadakan pemilu thn 1999.
            Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR berdasarkan hasil pemilihan umum tahun 1999 serta berhasil menetapkan jumlah wakil-wakil utusan gololngan maupun utusan daerah, maka MPR segera melaksanakan sidang.
            Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1-21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia.
            Kegagalan Habibie menjadi calon presiden Republik Indonesia sebagai akibat ditolaknya pidato pertanggungjawabannya, memunculkan tiga calon presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan presiden di antaranya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuzril Ihza Mahendra. Namun, detik-detik menjelang dilaksanakan pemungutan suara untuk memilih presiden tanggal 20 Oktober 1999, Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon presiden yang maju dalam pemilihan itu, yaitu Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakn secara voting, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilak sanakan pemilihan wakil presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan wakil presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Ada beberapa ketetapan dalam SU MPR 1999 yaitu sebagai berikut.
1.      Ketetapan MPR No. I Tahun 1999 tentang perubahan kelima atas Ketetapan MPR RI No I/MPR/1983 Tentang peraturan tata tertib majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia.
2.      Ketetapan MPR No. II Tahun 1999 tentang peraturan tata tertib MPR RI.
3.      Ketetapan MPR No.III Tahun 1999 tentang pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing Bacharudin Jusuf Habibie.
4.      Ketetapan MPR No.IV Tahun 1999 tentang garis-garis besar haluan negara tahun 1999-2004.
5.      Ketetapan MPR No.V Tahun 1999 tentang penentuan pendapat di Timur-Timur.
6.      Ketetapan MPR No.VI Tahun 1999 tentang tata cara pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
7.      Ketetapan MPR No.VII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
8.      Ketetapan MPR No.VIII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
9.      Ketetapan MPR No.IX Tahun 1999 tentang penugasan badan pekerja MPR RI Untuk melanjutkan perubahan UUD 1945.




BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
                        Sidang Istimewa MPR 1998 menghasilkan 12 ketetapan, sementara itu dengan diprakarsai oleh para mahasiswa yang bergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, dan Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi.
            Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
            Pemilihan Umum Tahun 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dengan jumlah 48 partai. Pemilihan Umum Tahun 1999 merupakan pemilu pertama pasca mundurnya Presiden Suharto dari tampuk kekuasaan. Habibie, selaku pengganti Suharto, melaksanakan pemilu tiga tahun lebih cepat dari waktu yang seharusnya dijadwalkan, yaitu tahun 2002
            Setelah lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahannya, maka MPR mengadakan Sidang Umum MPR thn 1999 dimana B.J.Habiebie menjadi Presiden RI ke-3. namun kemudian pada tahun 1999 diadakan pemilu thn 1999.

2.      Saran
            Kami menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan kesejah-teraan rakyat kecil. Karena dari pengamatan kami, rakyat kecil kurang diperhatikan pemerintah.  Meski laju perekonomian Indonesia berkembang pesat, namun perkem-bangan itu hanya menguntungkan golongan menengah keatas dan merugikan rakyat kecil sehingga kesenjangan sosial semakin membentang lebar. Kami juga menyaran-kan bagi segenap masyarakat Indonesia untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan dengan memberikan masukan, kritikan, dan dukungan.



DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar